Blind : Destiny
Can’t Be Blam
Cast :
Ø Akimoto Ren
Ø Im Yeon Joo
Ø Park Chan Joo
Ø Oh Hyun Woo
Ø Ahn Yeol In
Ø Kai Vincent
Ø Kim Joon Ki
Ø Byun Jeong Bin
Ø Oh Taerin
Ø Do Kyung Jin
Ø Han Hyuri
Ø Im Jae Hyuk
Ø Akimoto Taiki
Ø Hong Yi Seul
Ø Hasegawa Ryou
Ø Kikkawa Kaito
Ø Yoshiko Isoya
Chapter 1 : You
Are....
Terik matahari perlahan menerpa tubuh Kim Joon
Ki yang masih terbungkus selimut. Pemuda itu menggeliat pelan dan mulai membuka
kedua kelopak matanya. Ia menguap lebar. Disibakkannya selimut yang menjadi
penghangat tubuh tadi malam. Ia kemudian melangkah menuju kamar mandi.
Membersihkan badan sekaligus menghilangkan kantuk.
Joon Ki mengambil kaos biru, celana jeans
hitam,serta sebuah blazer putih sepanjang lutut dari lemari baju. Selesai
berpakaian, ia melangkah menuju ke sebuah lemari kecil di sudut kamarnya.
Diambilnya sebuah jam tangan warna putih yang baru ia beli dari Paris minggu
lalu. Pemuda itu nampak sangat tampan.
Setalah mengunci kamar, Joon Ki bergegas ke
kamar sebelah. Ia berdacak kesal melihat keadaan kamar sepupunya. Bantal,
seprai, guling, bahkan selimut berserakan di lantai. Computer dibiarkan
menyala, beberapa bungkus kentang goreng dan berkas-berkas dokumen juga
dibiarkan berserakan di lantai.
“Chan Joo-ya…
ireona (bangun)!”. Joon Ki mengguncang pelan tubuh sepupunya
yang masih tenggelam dalam alam mimpi.
Chan Joo menggeliat. “Lima menit, Hyung.” Rajuknya dengan kondisi masih menutup kedua mata.
Tangan kanannya menarik selimut hingga menutupi seluruh badan termasuk
kepalanya.
“Ya!!
Pali ireona (cepat bangun)!!”
Joon Ki kembali mengguncang tubuh Chan Joo, kali ini dengan tenaga lebih.
Chan Joo masih enggan membuka mata. Pemuda 21
tahun itu selalu sukses membuat setan dalam tubuh Joon Ki membubung ke
permukaan. Joon Ki mendengus kesal. Ia mulai berpikir keras. Bagaimana cara
membangunkan Park Chan Joo si ‘Raja Tidur’ itu. Astaga, ia bisa gila jika terus
seperti ini.
Joon Ki melirik jam yang melingkar manis di
pergelangan tangan kirinya. Pukul 08.00. Ia bisa terlambat. “Ayolah… kita
hampir terlambat. Cepatlah bangun!” Joon Ki menarik-narik lengan Chan Joo.
Namun, pemuda 21 tahun yang masih labil itu enggan berpaling dari ranjang
tidurnya.
“Ku bilang lima menit, Hyung.” ulang Chan Joo setengah bergumam. Ia masih bergelut dengan
selimut shappire bermotif garis kesayangannya.
“Astaga bocah ini. Bisakah kau tidak membuat
ku kesal satu hari saja?” Joon Ki mulai jera. Ia memutar bola matanya, menyapu
seluruh penjuru kamar Chan Joo. Tanpa sengaja kedua lensa matanya menangkap
sebuah benda yang memunculkan sebuah ide cemerlang di otaknya. Ia menyeringai.
“Baiklah kalau kau tidak mau bangun. Tapi
jangan menangis jika benda ‘itu’ aku lempar ke luar jendela.” Ancam Joon Ki sambil
menyilangkan kedua tangan.
“Coba saja. Aku berani bertaruh 10 ribu won.
Kau pasti tidak akan berani melakukannya.” Balas Chan Joo. Pemuda itu masih
menutup rapat kedua matanya. Astaga.
“Apa orang tidur bisa berbicara sepanjang itu.
Cih!” cibir Joon Ki. Ia kemudian melangkah dongkol menuju nakas. Park Chan Joo
bergeming.
“Lihat ini, Chan Joo-ya! Kau kira aku bercanda,huh?” Kim Joon Ki melempar-lemparkan
benda yang tergeletak di nakas ‘itu’ ke udara. Sedetik kemudian, ia bersiap
melemparkannya keluar jendela. Sesuai ancamannya tadi.
“CHANKKANMAN
(tunggu), HYUNG!!!!!” cegah Chan Joo
sambil bangkit dari ranjang dan segera menyambar jepit pita warna putih yang konon
menjadi benda keramatnya itu.
“Kau tidak tau betapa berharganya benda ini
bagiku…” lanjutnya sambil mem-poutkan bibir.
Joon Ki tersenyum puas. “Segera rapikan
kamarmu. Setelah itu, bersihkan tubuhmu kemudian bersiap-siap. Ku tunggu
sepuluh menit dari sekarang, oke?” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu.
“Sepuluh menit? Yang benar saja?” protes Chan
Joo tak terima.
Joon Ki tiba-tiba kembali menyumbulkan kepala
dari balik pintu, membuat Chan Joo mengelus dada, kaget. “Ah,ya. Sesuai
ucapanmu tadi, kau harus memberiku 10 ribu won.”
“Kau gila,
Hyung!!”
******************************
Sebuah Hyundai
silver melesat mulus membelah kota Seoul yang mulai ramai pagi itu. Kai
bergumam pelan menirukan lagu yang tengah ia dengarkan di i-Phone. Pemuda itu
sesekali bersiul untuk mengusik bosan yang kadang menyergapnya. Ia tersenyum
bangga melihat beberapa pengemudi lain tengah melempar tatapan kagum pada
dirinya atau pada mobil barunya. Entahlah ia tidak terlalu peduli dengan hal
semacam itu.
“You’re
so handsome, Kai Vincent!” pujinya, membanggakan diri sambil memainkan poni
rambutnya yang berwarna hitam pekat.
Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya Kai
sampai di Korean National University. Ia parkirkan Hyundainya, kemudian
mengambil tas selempang dan topi dari jok belakang. Pemuda jangkung itu
merapikan rambutnya, menekan topi hingga poni rambutnya sedikit menutupi dahi,
kemudian bergegas memasuki kampus.
“Kai? Hei bukankah itu Kai?” teriak seorang
gadis kepadanya. Gadis-gadis lain yang bersama gadis itu refleks menoleh ke
arah Kai. Kai mulai panik, ia kembali menekan topi baseballnya kemudian segera
menjauh dari sana.
“Sial! Terkadang aku menyesali pesonaku.”
Gerutunya sambil terus berlari menyusuri koridor fakultas seni yang masih agak
sepi meskipun sudah memasuki pukul 08.30 pagi.
Mungkin hari ini Dewi Fortuna memang sedang
tidak berpihak kepadanya. Pemuda itu salah memasuki area fakultas, ia memasuki
area fakultas kedokteran. Ia berhenti di depan sebuah ruangan yang paling tidak
ingin ia kunjungi. Laboratorium. Ia lebih memilih mencium gorilla dari pada
harus memasuki laboratorium. Namun, kali ini Kai benar-benar harus membuang
gengsinya. Demi keselamatan. Catat itu ‘demi keselamatan’. Ia tidak ingin
bernasib sama seperti Hyun Woo.
Kai mengintip sebentar lewat celah di pintu.
Pemuda itu menghembuskan napas lega. Gadis-gadis tadi sepertinya telah
kehilangan jejaknya. Kali ini ia harus bersyukur karena memiliki langkah kaki
yang panjang. Setelah yakin bahwa kondisi benar-benar sudah aman, Kai berniat
keluar. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya. Bulu kuduknya
meremang. Seingatnya tadi tidak ada orang lain di sana selain dirinya.
Kai memutar badannya agak ragu. “Astaga!”
pekiknya melengking setelah melihat siapa yang telah menepuk bahunya tadi. Seseorang
bermantel hitam.
“Hei… kau menatapku seakan kau sedang melihat
hantu.” Protes orang itu sambil membuka tudung mantel hitam yang ia kenakan. Ia
seorang gadis.
Kai mengelus dada. “Syukurlah. Tuhan masih
menyayangiku. Thanks God!” ucapnya
asal.
Gadis bermantel itu mengerutkan dahi kemudian
berkacak pinggang. “Jadi kau mengira aku ini benar-benar hantu,heh?” tudingnya
dengan mata yang mulai mendelik.
“Salahmu sendiri, kenapa berpakaian seperti
itu.” Balas Kai tak mau kalah.
Gadis bermata almond itu mengembungkan pipi
lantas meniup poni. “Kau lihatkan poniku ini basah? Itu artinya aku baru saja-...”
“Aku tidak peduli!” potong Kai ketus. “Itu
bukan urusanku.” lanjutnya.
“Astaga dasar maniak!” cibir gadis itu.
“Tubuhmu saja yang besar tapi otakmu…”
“Apa? Kenapa dengan otakku? Kau ingin bilang
bahwa otakku kecil begitu?” sambar Kai sambil melepas topi baseballnya, melemparnya
ke sembarang arah. Pemuda berdarah Canada itu maju selangkah.
“Ah, ya. Tadi kau bilang tubuhku besar? Kau
tidak lihat tubuhku ini atletis, nona pendek!?” lanjutnya dengan senyum
mengejek yang membingkai wajah tirusnya.
Gadis ‘pendek’ itu mendelik. “Mwo (apa)? Siapa yang kau sebut ‘nona
pendek’?”
“Tentu saja kau. Bukankah kita hanya berdua di
sini.” Celetuk Kai. Pemuda itu bersandar
pada dinding.
“Hh.. dasar tiang listrik!” cibir gadis itu,
balas mengejek.
“Anak ayam!”
“Ya!
Apa matamu karatan. Kau tidak bisa memebedakan gadis cantik dan manis sepertiku
dengan anak ayam,hah?” protes gadis yang tingginya hanya sepadan dengan bahu
Kai itu.
“Kau bilang kau apa? Cantik? Manis? Lucu
sekali! Kau terlalu over percaya
diri. Apa kau tidak mempunyai sebuah cermin di rumah?” Kai tertawa lebar.
“Sepertinya aku harus meralat ucapanku tentang
tubuhmu. Tubuhmu tidak besar tapi tipis! Kau dengar? TI-PIS!” ejek gadis
‘pendek’ itu sambil menjulurkan lidahnya. Ia berkacak pinggang.
Kai mulai tersulut emosi. “Sudah ku bilang
tubuhku AT-LET-TIS, nona ubur-ubur!!!” ujarnya dengan sedikit penekanan.
“Cih! Tuan narsis!”
“Kura-kura betina!”
“Tiang listrik jelek!”
“Siapa yang jelek?! Aku tampan dan mempesona!”
“KA-U JE-LEK!!!!!”
“Sesukamu saja lah!”
“Aigoo...
ada bocah cengeng di sini!”
“Dasar Ahjumma
(bibi-bibi)!”
“Ya! Kau! Kakek tua!”
“Apa……????
“STOP!!!
Ya!! apa yang sedang kalian lakukan
di sini, hah? Kenapa berisik sekali????” Kyung Jin berdiri di ambang pintu
sambil berkacak pinggang.
“Hyung?”
“Sunbae (senior)?”
*******************************
Angin bertiup cukup kencang pagi ini.
Menerbangkan dedaunan yang menggugur. Pagi yang dingin di akhir musim gugur
tahun ini. Jeong Bin masih terus
melangkahkan kakinya menuju Korean National University. Putra sulung dari keluarga
Byun yang sangat disegani itu lebih senang menjalani hidup dengan sederhana. Terbukti
dengan penampilannya yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa pemuda itu
berlatar belakang keluarga terpandang. Byun Jeong Bin hanya memakai kemeja
panjang berwarna putih yang dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets biasa.
Namun tidak dapat dipungkiri, pemuda itu memang sangat tampan.
Jeong Bin terus mengayunkan kakinya sambil
bersenandung riang, melewati jalanan yang mulai ramai dipenuhi oleh orang-orang
yang hendak beraktifitas, entah itu bekerja, bersekolah, berdagang atau hanya
sekedar berjalan-jalan saja. Byun Jeong Bin melirik jam tangan hitam di
pergelangan tangan kirinya. Pukul 08.45. Ia mempercepat langkah kakinya, tidak
ingin terlambat. Terlebih lagi pagi ini merupakan hari yang cukup mengerikan.
Ia harus bertatap muka langsung dengan dosen Kim karena kemarin ia terlambat
mengumpulkan hasil laporan kunjungan wisata.
“Oppa!”
panggil seorang gadis kepadanya.
Jeong Bin refleks menoleh ke arah gadis berpipi
chubby yang masih bertengger manis di atas sebuah sepeda mini berwarna merah.
Mereka saling melempar senyum.
“Taerin-ah,
waeyo?” Tanya Jeong Bin lembut. Tangan kanannya menyeka peluh yang mengucur
dari dahinya.
“Butuh tumpangan?” Tawar Taerin sambil memainkan
bel sepedanya.
“Apa tidak merepotkan?” Tanya Jeong Bin agak
kurang enak hati, takut merepotkan.
“Tidak. Selama kau yang memboncengku.” Jawab
Taerin sambil tertawa renyah. Ia menyerahkan sepedanya pada Jeong Bin.
Jeong Bin terkekeh. “Dasar curang!” pemuda itu
mengacak pelan rambut Taerin.
Taerin mendengus. “Hentikan! Jangan mengacak-acak
rambutku!” omel gadis itu sambil mem-pout-kan
bibirnya. Ia kemudian duduk di boncengan sepeda sambil tersenyum kecil.
“Kau tidak tau berapa waktu yang aku butuhkan untuk
menata rambutku ini kan? Jadi jangan mengacaknya lagi.”
Jeong Bin hanya tersenyum tipis kemudian
mengayuh sepeda Taerin menyusuri gang-gang kecil yang selalu menjadi jalan
alternatifnya. Sesekali ia memainkan bel sepeda Taerin. “Rin… bagaimana keadaan
Hyun Woo?” Tanyanya tiba-tiba.
“Dia sudah agak baikkan. Tapi wajahnya penuh
luka memar.” Jawab Taerin sambil memainkan ponsel.
“Kau yakin dia baik-baik saja?” Tanya Jeong
Bin lagi.
“Ya. Setidaknya untuk saat ini. Sebelum aku
meninju wajahnya karena telah mencuri mocca float-ku tadi pagi. Hahaha” jawab
Taerin sambil tertawa lebar.
Jeong Bin mengernyitkan dahi. “Astaga. Kau
ini! Kenapa bicara seperti itu,eh?”
“Itu karena dia menyebalkan. Memangnya berapa
banyak fans yang menyerbunya kemarin? Aku tidak habis pikir ternyata ada juga
orang yang mengagumi kakakku yang menyebalkan itu.” Celoteh Taerin panjang
lebar.
Jeong Bin tertawa. “Kau lucu.”
“Aish sudahlah. Lebih baik kau kayuh sepeda
ini lebih cepat. Ya, itu juga jika Oppa
tidak ingin terlambat.”
“Tanpa kau beri tahu pun aku sudah
melakukannya Taerin-ah. Turunlah kita
sudah sampai.”
“Eh?? Benarkah?”
******************************
Hyun Woo membanting tubuhnya ke sofa di
samping Chan Joo yang tengah sibuk dengan ponselnya. Ia sesekali mendesah sambil
memandangi wajahnya dari cermin yang selalu ia bawa dalam saku celananya. Chan
Joo mem-pause game-nya kemudian beralih menatap Hyun Woo.
“Wajahmu kenapa?” Tanya Chan Joo sambil
memegang pipi Hyun Woo.
Oh Hyun Woo meringis kesakitan “Ya! Kenapa kau memegangnya, Hyung!”
“Mianhae…
pasti sakit ya?” Tanya Chan Joo polos.
Hyun Woo memanyunkan bibirnya “Tentu saja
sakit. Dasar bodoh!” cibirnya sambil memegangi bagian pipinya yang agak memar.
“Apa yang kau perbuat kemarin?” Chan Joo mulai
mengintrogasi Hyun Woo. Pemuda itu menatap intens Oh Hyun Woo yang sedang
memandang malas ke arahnya.
“Kai mana, Hyung?”
Hyun Woo berusaha mengganti topik pembicaraan. Ia sedang malas bercerita. Apalagi
jika bercerita pada Chan Joo yang notabene adalah hyung teraneh dalam grupnya. Ia yakin setelah ia menceritakan apa
yang sudah ia alami kemarin, Chan Joo tidak akan berhenti mentertawakan
dirinya. Jadi lebih baik ia tidak memberi tahu hyung-nya yang satu ini.
“Ya!
Jawab dulu pertanyaanku Hyun Woo-ya!”
desak Chan Joo. Nada bicaranya agak meninggi sekitar satu oktaf.
Hyun Woo menarik napas panjang. Ia lupa satu
hal. Hyung-nya ini memiliki rasa
ingin tau yang paling tinggi di antara hyung-hyung-nya
yang lain. “Tidak ada yang perlu dijawab, Hyung.”
“Ayolah.. ceritakan padaku.” Desak Chan Joo
lagi sambil mengeluarkan puppy eyes-nya.
Itu selalu terlihat menjijikan di mata Jeong Bin. Entah bagaimana di mata Hyun
Woo.
“Sudah ku bilang-…“
“Jangan-jangan kau berkelahi lagi,eh?” tebak
Chan Joo sambil menudingkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Hyun Woo,
mengabaikan ekspresi sang magnae yang
terihat tidak nyaman dengan tingkah sok taunya itu.
Hyun Woo refleks memundurkan kepalanya.“Tentu
saja tidak.” Kilahnya. Chan Joo menurunkan tangannya membuat Hyun Woo sedikit
lega. Ia beranjak pergi meninggalkan Chan Joo. Pemuda itu bisa gila jika terus
berhadapan dengan seorang Park Chan Joo. Orang tinggi itu dikenal sebagai Happy Virus, tapi hal itu tidak berlaku
bagi Hyun Woo. Baginya Park Chan Joo tidak lebih dari seorang ‘Bad Mood Maker’.
“Hyun Woo-ya!
Tunggu!” cegah Chan Joo, pemuda itu menarik lengan Hyun Woo.
Hyun Woo menoleh. “Apa?” tanyanya ketus.
“Akan ku belikan kau Mocca Float jika kau mau bercerita padaku.” Tawarnya mencoba bernegoisasi
dengan seorang Oh Hyun Woo. Chan Joo mengedipkan kedua mata.
Hyun Woo membuang muka. “Aku tidak akan
tertipu lagi, Hyung. Terakhir kali
kau menjanjikan hal itu padaku, tapi kau malah meminumnya sendiri bersama Jeong
Bin Hyung. Menyebalkan. Sudahlah aku
mau pergi. Kau lanjutkan saja game-mu!
” Hyun Woo kembali melanjutkan langkahnya. Ia menutup pintu dengan agak kasar.
Ia membantingnya.
*********************************
LA, 21 Desember 2012
Butiran salju
perlahan berjatuhan ke tanah menjadi awal untuk musim dingin. Jalanan yang mulai
tertutup salju itu terlihat sedikit sepi, jauh berbeda dari hari – hari biasa
yang ramai oleh orang – orang yang hendak beraktifitas atau hanya sekedar
berjalan – jalan menghirup udara yang tidak dapat dibilang ‘segar’.
Angin
berhembus kencang hingga terasa seperti jarum yang menusuk kulit. Sudah lebih
dari satu jam Yeon Joo berdiri di sana, di bawah pohon rindang yang terletak di
tengah taman. Gadis itu memeluk tas ranselnya berharap ia bisa mendapat sedikit
kehangatan dengan melakukan hal itu.
“Kenapa salju
turun sekarang. Aish… menyebalkan!” runtuk Yeon Joo. Kepulan asap keluar dari
mulut dan hidungnya. Udara benar – benar terasa semakin dingin, terlebih bagi
dirinya yang hanya memakai kaos biru laut setengah lengan yang dipadu dengan
celana warna putih sepanjang lutut.
Yeon Joo
terdiam sejenak saat ponsel dalam saku celananya bergetar. Ia segera
mengambilnya. Layar ponsel putih itu terus berkelip menampakkan sederet nomor
asing. Yeon Joo mengerutkan dahi, sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. “Hallo…”
“Ya!
Im Yeon Joo di mana kau sekarang, hah? Salju turun dan kau meninggalkan
mantelmu di apartementmu!! Apa kau sudah tidak waras?” Yeon Joo segera
menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia memutar bola matanya sedikit kesal.
“Yeon Joo-ya… kau dengar aku?” suara itu berubah
lembut. Yeon Joo terdiam. Gadis itu terlihat berpikir. Lebih tepatnya
mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian ia tersentak. Yeon Joo mengenali suara
itu.
“Jae Hyuk-ah… Kau kah itu?” Tanyanya kemudian.
“Ya! Ada apa denganmu? Kau baik-baik saja
kan?” Yeon Joo mendesah mendengar pertanyaan beruntun dari Jae Hyuk.
“Kapan kau
datang? Apa kau disuruh Appa untuk
menyeretku pulang? Kembalilah! Karena aku tidak akan pernah kembali ke sana.”
“Berhenti
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan Im Yeon Joo!! Dan, apa maksudmu?? Aku ke
mari karena aku rindu padamu! Dasar bodoh! Lagi pula kuliahku sudah selesai.
Dan aku ingin berlibur di sini sebelum kembali ke Korea.” Yeon Joo kembali
menjauhkan phonselnya dari telinga. Ia tidak tahan dengan teriakkan.
“Pelankan
suaramu, bodoh!” sungutnya.
“Kau di mana
sekarang?”
“Kenapa
bertanya?” sinis Yeon Joo.
“Aku
mengkhawatirkanmu. Tidakkah kau tahu?” lirih Jae Hyuk terdengar parau. Dari
suaranya sangat kentara kalau pemuda itu sedang khawatir.
Yeon Joo
menyerah. Ia menghembuskan napas kuat – kuat. “Di bawah pohon besar di tengah
taman dekat sekolah. Bisakah kau menjemputku? Aku hampir membeku di sini. Kau
mengerti, Im Jae Hyuk?!!” ocehnya setengah berteriak.
“Kau aneh Yeon
Joo-ya. Benar – benar gadis 4D. Bisa
– bisanya sikapmu berubah hanya dalam waktu beberapa detik. Baiklah aku ke
sana. Tetaplah di tempatmu. Mengerti??”
“Ya, aku…”,
tut… tut… tut… “mengerti.”
Sambungan diputus
secara sepihak oleh Jae Hyuk. Pemuda itu tidak berubah. Selalu saja bertindak
seenaknya. Im Jae Hyuk tetaplah Im Jae Hyuk. Tak peduli berapa lama ia menetap
di Kanada ataupun negara lain, sifat buruknya itu akan tetap melekat pada diri
Jae Hyuk. Ya, setidaknya itulah pendapat dari Yeon Joo.
Yeon Joo
menggosok – gosokkan kedua telapak tangannya berusaha mencari kehangatan, namun
sepertinya sia – sia. Hawa dingin semakin menyergapnya. Salju turun semakin
lebat, menciptakan gundukan kecil di ranting pohon. Gundukan – gundukan
tersebut semakin lama semakin membesar hingga ranting pohon tak mampu lagi
menopangnya. Satu persatu gundukan salju itu mulai berjatuhan. Yeon Joo
merasakan sesuatu mendarat di kepalanya. Gadis itu tersentak dan refleks
menjatuhkan ponsel dalam genggaman tangannya.
“Ya! Siapa yang barusan melempariku?!”
omelnya sambil menengokkan kepalanya ke samping kanan kemudian ke kiri.
“Aku sedang tidak ingin bermain.” Ia kemudian
berjongkok hendak memungut ponselnya.
Gundukan salju
kembali jatuh dan mendarat di punggung Yeon Joo. Gadis berambut pendek itu mendengus.
“Sudah ku bilang aku sedang tidak ingin bermain. Jadi, tolong berhenti!”
teriaknya mulai tersulut emosi.
Yeon Joo duduk
bersandar pada pohon. Ia memeluk kedua kakinya. Gundukan salju lagi – lagi
jatuh. Kini tidak mengenainya, gundukan itu jatuh tepat di samping sepatunya.
“Astaga… kenapa masih saja melempariku…” Yeon Joo menghentikan omelannya
kemudian mendongak.
Gadis tomboy
itu, terkekeh, “Ternyata dari ranting pohon.” Ujarnya kemudian.
Yeon Joo
melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga
puluh menit berlalu, tapi Jae Hyuk belum juga datang. Dan sekarang ia mulai
merasa bosan sekaligus agak pening.
“Ku mohon jangan sekarang.” Lirihnya.
Cairan pekat
warna merah mulai mengalir perlahan dari kedua rongga hidungnya. Kepalanya
berdenyut hebat. Yeon Joo mengerang. Pandangannya perlahan mulai kabur dan
tubuhnya mulai melemas hingga akhirnya kehilangan kesadaran.
~Continue~