Senin, 18 November 2013

[STORY] BLIND : Destiny Can't Be Blame



Blind : Destiny Can’t Be Blam

Cast :
Ø  Akimoto Ren
Ø  Im Yeon Joo
Ø  Park Chan Joo
Ø  Oh Hyun Woo
Ø  Ahn Yeol In
Ø  Kai Vincent
Ø  Kim Joon Ki
Ø  Byun Jeong Bin
Ø  Oh Taerin
Ø  Do Kyung Jin
Ø  Han Hyuri
Ø  Im Jae Hyuk
Ø  Akimoto Taiki
Ø  Hong Yi Seul
Ø  Hasegawa Ryou
Ø  Kikkawa Kaito
Ø  Yoshiko Isoya 

 
Chapter 1 : You Are....

Terik matahari perlahan menerpa tubuh Kim Joon Ki yang masih terbungkus selimut. Pemuda itu menggeliat pelan dan mulai membuka kedua kelopak matanya. Ia menguap lebar. Disibakkannya selimut yang menjadi penghangat tubuh tadi malam. Ia kemudian melangkah menuju kamar mandi. Membersihkan badan sekaligus menghilangkan kantuk.
Joon Ki mengambil kaos biru, celana jeans hitam,serta sebuah blazer putih sepanjang lutut dari lemari baju. Selesai berpakaian, ia melangkah menuju ke sebuah lemari kecil di sudut kamarnya. Diambilnya sebuah jam tangan warna putih yang baru ia beli dari Paris minggu lalu. Pemuda itu nampak sangat tampan.
Setalah mengunci kamar, Joon Ki bergegas ke kamar sebelah. Ia berdacak kesal melihat keadaan kamar sepupunya. Bantal, seprai, guling, bahkan selimut berserakan di lantai. Computer dibiarkan menyala, beberapa bungkus kentang goreng dan berkas-berkas dokumen juga dibiarkan berserakan di lantai.
“Chan Joo-ya… ireona (bangun)!”. Joon Ki mengguncang pelan tubuh sepupunya yang masih tenggelam dalam alam mimpi.
Chan Joo menggeliat. “Lima menit, Hyung.” Rajuknya  dengan kondisi masih menutup kedua mata. Tangan kanannya menarik selimut hingga menutupi seluruh badan termasuk kepalanya.
Ya!! Pali ireona (cepat bangun)!!” Joon Ki kembali mengguncang tubuh Chan Joo, kali ini dengan tenaga lebih.
Chan Joo masih enggan membuka mata. Pemuda 21 tahun itu selalu sukses membuat setan dalam tubuh Joon Ki membubung ke permukaan. Joon Ki mendengus kesal. Ia mulai berpikir keras. Bagaimana cara membangunkan Park Chan Joo si ‘Raja Tidur’ itu. Astaga, ia bisa gila jika terus seperti ini.
Joon Ki melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Pukul 08.00. Ia bisa terlambat. “Ayolah… kita hampir terlambat. Cepatlah bangun!” Joon Ki menarik-narik lengan Chan Joo. Namun, pemuda 21 tahun yang masih labil itu enggan berpaling dari ranjang tidurnya.
“Ku bilang lima menit, Hyung.” ulang Chan Joo setengah bergumam. Ia masih bergelut dengan selimut shappire bermotif garis kesayangannya.
“Astaga bocah ini. Bisakah kau tidak membuat ku kesal satu hari saja?” Joon Ki mulai jera. Ia memutar bola matanya, menyapu seluruh penjuru kamar Chan Joo. Tanpa sengaja kedua lensa matanya menangkap sebuah benda yang memunculkan sebuah ide cemerlang di otaknya. Ia menyeringai.
“Baiklah kalau kau tidak mau bangun. Tapi jangan menangis jika benda ‘itu’ aku lempar ke luar jendela.” Ancam Joon Ki sambil menyilangkan kedua tangan.
“Coba saja. Aku berani bertaruh 10 ribu won. Kau pasti tidak akan berani melakukannya.” Balas Chan Joo. Pemuda itu masih menutup rapat kedua matanya. Astaga.
“Apa orang tidur bisa berbicara sepanjang itu. Cih!” cibir Joon Ki. Ia kemudian melangkah dongkol menuju nakas. Park Chan Joo bergeming.
“Lihat ini, Chan Joo-ya! Kau kira aku bercanda,huh?” Kim Joon Ki melempar-lemparkan benda yang tergeletak di nakas ‘itu’ ke udara. Sedetik kemudian, ia bersiap melemparkannya keluar jendela. Sesuai ancamannya tadi.
CHANKKANMAN (tunggu), HYUNG!!!!!” cegah Chan Joo sambil bangkit dari ranjang dan segera menyambar jepit pita warna putih yang konon menjadi benda keramatnya itu.
“Kau tidak tau betapa berharganya benda ini bagiku…” lanjutnya sambil mem-poutkan bibir.
Joon Ki tersenyum puas. “Segera rapikan kamarmu. Setelah itu, bersihkan tubuhmu kemudian bersiap-siap. Ku tunggu sepuluh menit dari sekarang, oke?” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu.
“Sepuluh menit? Yang benar saja?” protes Chan Joo tak terima.
Joon Ki tiba-tiba kembali menyumbulkan kepala dari balik pintu, membuat Chan Joo mengelus dada, kaget. “Ah,ya. Sesuai ucapanmu tadi, kau harus memberiku 10 ribu won.”
“Kau gila, Hyung!!”

******************************

               Sebuah Hyundai silver melesat mulus membelah kota Seoul yang mulai ramai pagi itu. Kai bergumam pelan menirukan lagu yang tengah ia dengarkan di i-Phone. Pemuda itu sesekali bersiul untuk mengusik bosan yang kadang menyergapnya. Ia tersenyum bangga melihat beberapa pengemudi lain tengah melempar tatapan kagum pada dirinya atau pada mobil barunya. Entahlah ia tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu.
You’re so handsome, Kai Vincent!” pujinya, membanggakan diri sambil memainkan poni rambutnya yang berwarna hitam pekat.
Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya Kai sampai di Korean National University. Ia parkirkan Hyundainya, kemudian mengambil tas selempang dan topi dari jok belakang. Pemuda jangkung itu merapikan rambutnya, menekan topi hingga poni rambutnya sedikit menutupi dahi, kemudian bergegas memasuki kampus.
“Kai? Hei bukankah itu Kai?” teriak seorang gadis kepadanya. Gadis-gadis lain yang bersama gadis itu refleks menoleh ke arah Kai. Kai mulai panik, ia kembali menekan topi baseballnya kemudian segera menjauh dari sana.
“Sial! Terkadang aku menyesali pesonaku.” Gerutunya sambil terus berlari menyusuri koridor fakultas seni yang masih agak sepi meskipun sudah memasuki pukul 08.30 pagi.
Mungkin hari ini Dewi Fortuna memang sedang tidak berpihak kepadanya. Pemuda itu salah memasuki area fakultas, ia memasuki area fakultas kedokteran. Ia berhenti di depan sebuah ruangan yang paling tidak ingin ia kunjungi. Laboratorium. Ia lebih memilih mencium gorilla dari pada harus memasuki laboratorium. Namun, kali ini Kai benar-benar harus membuang gengsinya. Demi keselamatan. Catat itu ‘demi keselamatan’. Ia tidak ingin bernasib sama seperti Hyun Woo.
Kai mengintip sebentar lewat celah di pintu. Pemuda itu menghembuskan napas lega. Gadis-gadis tadi sepertinya telah kehilangan jejaknya. Kali ini ia harus bersyukur karena memiliki langkah kaki yang panjang. Setelah yakin bahwa kondisi benar-benar sudah aman, Kai berniat keluar. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya. Bulu kuduknya meremang. Seingatnya tadi tidak ada orang lain di sana selain dirinya.
Kai memutar badannya agak ragu. “Astaga!” pekiknya melengking setelah melihat siapa yang telah menepuk bahunya tadi. Seseorang bermantel hitam.
“Hei… kau menatapku seakan kau sedang melihat hantu.” Protes orang itu sambil membuka tudung mantel hitam yang ia kenakan. Ia seorang gadis.
Kai mengelus dada. “Syukurlah. Tuhan masih menyayangiku. Thanks God!” ucapnya asal.
Gadis bermantel itu mengerutkan dahi kemudian berkacak pinggang. “Jadi kau mengira aku ini benar-benar hantu,heh?” tudingnya dengan mata yang mulai mendelik.
“Salahmu sendiri, kenapa berpakaian seperti itu.” Balas Kai tak mau kalah.
Gadis bermata almond itu mengembungkan pipi lantas meniup poni. “Kau lihatkan poniku ini basah? Itu artinya aku baru saja-...”
“Aku tidak peduli!” potong Kai ketus. “Itu bukan urusanku.” lanjutnya.
“Astaga dasar maniak!” cibir gadis itu. “Tubuhmu saja yang besar tapi otakmu…”
“Apa? Kenapa dengan otakku? Kau ingin bilang bahwa otakku kecil begitu?” sambar Kai sambil melepas topi baseballnya, melemparnya ke sembarang arah. Pemuda berdarah Canada itu maju selangkah.
“Ah, ya. Tadi kau bilang tubuhku besar? Kau tidak lihat tubuhku ini atletis, nona pendek!?” lanjutnya dengan senyum mengejek yang membingkai wajah tirusnya.
Gadis ‘pendek’ itu mendelik. “Mwo (apa)? Siapa yang kau sebut ‘nona pendek’?” 
“Tentu saja kau. Bukankah kita hanya berdua di sini.” Celetuk Kai. Pemuda itu  bersandar pada dinding.
“Hh.. dasar tiang listrik!” cibir gadis itu, balas mengejek.
“Anak ayam!”
Ya! Apa matamu karatan. Kau tidak bisa memebedakan gadis cantik dan manis sepertiku dengan anak ayam,hah?” protes gadis yang tingginya hanya sepadan dengan bahu Kai itu.
“Kau bilang kau apa? Cantik? Manis? Lucu sekali! Kau terlalu over percaya diri. Apa kau tidak mempunyai sebuah cermin di rumah?” Kai tertawa lebar.
“Sepertinya aku harus meralat ucapanku tentang tubuhmu. Tubuhmu tidak besar tapi tipis! Kau dengar? TI-PIS!” ejek gadis ‘pendek’ itu sambil menjulurkan lidahnya. Ia berkacak pinggang.
Kai mulai tersulut emosi. “Sudah ku bilang tubuhku AT-LET-TIS, nona ubur-ubur!!!” ujarnya dengan sedikit penekanan.
“Cih! Tuan narsis!”
“Kura-kura betina!”
“Tiang listrik jelek!”
“Siapa yang jelek?! Aku tampan dan mempesona!”
“KA-U JE-LEK!!!!!”
“Sesukamu saja lah!”
Aigoo... ada bocah cengeng di sini!”
“Dasar Ahjumma (bibi-bibi)!”
“Ya! Kau! Kakek tua!”
“Apa……????

STOP!!! Ya!! apa yang sedang kalian lakukan di sini, hah? Kenapa berisik sekali????” Kyung Jin berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang.
Hyung?”
Sunbae (senior)?”

*******************************

Angin bertiup cukup kencang pagi ini. Menerbangkan dedaunan yang menggugur. Pagi yang dingin di akhir musim gugur tahun ini. Jeong Bin  masih terus melangkahkan kakinya menuju Korean National University. Putra sulung dari keluarga Byun yang sangat disegani itu lebih senang menjalani hidup dengan sederhana. Terbukti dengan penampilannya yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa pemuda itu berlatar belakang keluarga terpandang. Byun Jeong Bin hanya memakai kemeja panjang berwarna putih yang dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets biasa. Namun tidak dapat dipungkiri, pemuda itu memang sangat tampan.
Jeong Bin terus mengayunkan kakinya sambil bersenandung riang, melewati jalanan yang mulai ramai dipenuhi oleh orang-orang yang hendak beraktifitas, entah itu bekerja, bersekolah, berdagang atau hanya sekedar berjalan-jalan saja. Byun Jeong Bin melirik jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya. Pukul 08.45. Ia mempercepat langkah kakinya, tidak ingin terlambat. Terlebih lagi pagi ini merupakan hari yang cukup mengerikan. Ia harus bertatap muka langsung dengan dosen Kim karena kemarin ia terlambat mengumpulkan hasil laporan kunjungan wisata.
Oppa!” panggil seorang gadis kepadanya.
Jeong Bin refleks menoleh ke arah gadis berpipi chubby yang masih bertengger manis di atas sebuah sepeda mini berwarna merah. Mereka saling melempar senyum.
“Taerin-ah, waeyo?” Tanya Jeong Bin lembut. Tangan kanannya menyeka peluh yang mengucur dari dahinya.
“Butuh tumpangan?” Tawar Taerin sambil memainkan bel sepedanya.
“Apa tidak merepotkan?” Tanya Jeong Bin agak kurang enak hati,  takut merepotkan.
“Tidak. Selama kau yang memboncengku.” Jawab Taerin sambil tertawa renyah. Ia menyerahkan sepedanya pada Jeong Bin.
Jeong Bin terkekeh. “Dasar curang!” pemuda itu mengacak pelan rambut Taerin.
Taerin mendengus. “Hentikan! Jangan mengacak-acak rambutku!” omel gadis itu sambil mem-pout-kan bibirnya. Ia kemudian duduk di boncengan sepeda sambil tersenyum kecil.
“Kau tidak tau berapa waktu yang aku butuhkan untuk menata rambutku ini kan? Jadi jangan mengacaknya lagi.”
Jeong Bin hanya tersenyum tipis kemudian mengayuh sepeda Taerin menyusuri gang-gang kecil yang selalu menjadi jalan alternatifnya. Sesekali ia memainkan bel sepeda Taerin. “Rin… bagaimana keadaan Hyun Woo?” Tanyanya tiba-tiba.
“Dia sudah agak baikkan. Tapi wajahnya penuh luka memar.” Jawab Taerin sambil memainkan ponsel.
“Kau yakin dia baik-baik saja?” Tanya Jeong Bin lagi.
“Ya. Setidaknya untuk saat ini. Sebelum aku meninju wajahnya karena telah mencuri mocca float-ku tadi pagi. Hahaha” jawab Taerin sambil tertawa lebar.
Jeong Bin mengernyitkan dahi. “Astaga. Kau ini! Kenapa bicara seperti itu,eh?”
“Itu karena dia menyebalkan. Memangnya berapa banyak fans yang menyerbunya kemarin? Aku tidak habis pikir ternyata ada juga orang yang mengagumi kakakku yang menyebalkan itu.” Celoteh Taerin panjang lebar.
Jeong Bin tertawa. “Kau lucu.”
“Aish sudahlah. Lebih baik kau kayuh sepeda ini lebih cepat. Ya, itu juga jika Oppa tidak ingin terlambat.”
“Tanpa kau beri tahu pun aku sudah melakukannya Taerin-ah. Turunlah kita sudah sampai.”
“Eh?? Benarkah?”

******************************

Hyun Woo membanting tubuhnya ke sofa di samping Chan Joo yang tengah sibuk dengan ponselnya. Ia sesekali mendesah sambil memandangi wajahnya dari cermin yang selalu ia bawa dalam saku celananya. Chan Joo mem-pause game-nya kemudian beralih menatap Hyun Woo.
“Wajahmu kenapa?” Tanya Chan Joo sambil memegang pipi Hyun Woo.
Oh Hyun Woo meringis kesakitan “Ya! Kenapa kau memegangnya, Hyung!”
Mianhae… pasti sakit ya?” Tanya Chan Joo polos.
Hyun Woo memanyunkan bibirnya “Tentu saja sakit. Dasar bodoh!” cibirnya sambil memegangi bagian pipinya yang agak memar.
“Apa yang kau perbuat kemarin?” Chan Joo mulai mengintrogasi Hyun Woo. Pemuda itu menatap intens Oh Hyun Woo yang sedang memandang malas ke arahnya.
“Kai mana, Hyung?” Hyun Woo berusaha mengganti topik pembicaraan. Ia sedang malas bercerita. Apalagi jika bercerita pada Chan Joo yang notabene adalah hyung teraneh dalam grupnya. Ia yakin setelah ia menceritakan apa yang sudah ia alami kemarin, Chan Joo tidak akan berhenti mentertawakan dirinya. Jadi lebih baik ia tidak memberi tahu hyung-nya yang satu ini.
Ya! Jawab dulu pertanyaanku Hyun Woo-ya!” desak Chan Joo. Nada bicaranya agak meninggi sekitar satu oktaf.
Hyun Woo menarik napas panjang. Ia lupa satu hal. Hyung-nya ini memiliki rasa ingin tau yang paling tinggi di antara hyung-hyung-nya yang lain. “Tidak ada yang perlu dijawab, Hyung.”
“Ayolah.. ceritakan padaku.” Desak Chan Joo lagi sambil mengeluarkan puppy eyes-nya. Itu selalu terlihat menjijikan di mata Jeong Bin. Entah bagaimana di mata Hyun Woo.
“Sudah ku bilang-…“
“Jangan-jangan kau berkelahi lagi,eh?” tebak Chan Joo sambil menudingkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Hyun Woo, mengabaikan ekspresi sang magnae yang terihat tidak nyaman dengan tingkah sok taunya itu.
Hyun Woo refleks memundurkan kepalanya.“Tentu saja tidak.” Kilahnya. Chan Joo menurunkan tangannya membuat Hyun Woo sedikit lega. Ia beranjak pergi meninggalkan Chan Joo. Pemuda itu bisa gila jika terus berhadapan dengan seorang Park Chan Joo. Orang tinggi itu dikenal sebagai Happy Virus, tapi hal itu tidak berlaku bagi Hyun Woo. Baginya Park Chan Joo tidak lebih dari seorang ‘Bad Mood Maker’.
“Hyun Woo-ya! Tunggu!” cegah Chan Joo, pemuda itu menarik lengan Hyun Woo.
Hyun Woo menoleh. “Apa?” tanyanya ketus.
“Akan ku belikan kau Mocca Float jika kau mau bercerita padaku.” Tawarnya mencoba bernegoisasi dengan seorang Oh Hyun Woo. Chan Joo mengedipkan kedua mata.
Hyun Woo membuang muka. “Aku tidak akan tertipu lagi, Hyung. Terakhir kali kau menjanjikan hal itu padaku, tapi kau malah meminumnya sendiri bersama Jeong Bin Hyung. Menyebalkan. Sudahlah aku mau pergi. Kau lanjutkan saja game-mu! ” Hyun Woo kembali melanjutkan langkahnya. Ia menutup pintu dengan agak kasar. Ia  membantingnya.

*********************************

LA, 21 Desember 2012

               Butiran salju perlahan berjatuhan ke tanah menjadi awal untuk musim dingin. Jalanan yang mulai tertutup salju itu terlihat sedikit sepi, jauh berbeda dari hari – hari biasa yang ramai oleh orang – orang yang hendak beraktifitas atau hanya sekedar berjalan – jalan menghirup udara yang tidak dapat dibilang ‘segar’.
               Angin berhembus kencang hingga terasa seperti jarum yang menusuk kulit. Sudah lebih dari satu jam Yeon Joo berdiri di sana, di bawah pohon rindang yang terletak di tengah taman. Gadis itu memeluk tas ranselnya berharap ia bisa mendapat sedikit kehangatan dengan melakukan hal itu.
               “Kenapa salju turun sekarang. Aish… menyebalkan!” runtuk Yeon Joo. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya. Udara benar – benar terasa semakin dingin, terlebih bagi dirinya yang hanya memakai kaos biru laut setengah lengan yang dipadu dengan celana warna putih sepanjang lutut.
               Yeon Joo terdiam sejenak saat ponsel dalam saku celananya bergetar. Ia segera mengambilnya. Layar ponsel putih itu terus berkelip menampakkan sederet nomor asing. Yeon Joo mengerutkan dahi, sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. “Hallo…”
Ya! Im Yeon Joo di mana kau sekarang, hah? Salju turun dan kau meninggalkan mantelmu di apartementmu!! Apa kau sudah tidak waras?” Yeon Joo segera menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia memutar bola matanya sedikit kesal.
               “Yeon Joo-ya… kau dengar aku?” suara itu berubah lembut. Yeon Joo terdiam. Gadis itu terlihat berpikir. Lebih tepatnya mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian ia tersentak. Yeon Joo mengenali suara itu.
               “Jae Hyuk-ah… Kau kah itu?” Tanyanya kemudian.
               Ya! Ada apa denganmu? Kau baik-baik saja kan?” Yeon Joo mendesah mendengar pertanyaan beruntun dari Jae Hyuk.
               “Kapan kau datang? Apa kau disuruh Appa untuk menyeretku pulang? Kembalilah! Karena aku tidak akan pernah kembali ke sana.”
               “Berhenti menjawab pertanyaan dengan pertanyaan Im Yeon Joo!! Dan, apa maksudmu?? Aku ke mari karena aku rindu padamu! Dasar bodoh! Lagi pula kuliahku sudah selesai. Dan aku ingin berlibur di sini sebelum kembali ke Korea.” Yeon Joo kembali menjauhkan phonselnya dari telinga. Ia tidak tahan dengan teriakkan.
               “Pelankan suaramu, bodoh!” sungutnya.
               “Kau di mana sekarang?”
               “Kenapa bertanya?” sinis Yeon Joo.
               “Aku mengkhawatirkanmu. Tidakkah kau tahu?” lirih Jae Hyuk terdengar parau. Dari suaranya sangat kentara kalau pemuda itu sedang khawatir.
               Yeon Joo menyerah. Ia menghembuskan napas kuat – kuat. “Di bawah pohon besar di tengah taman dekat sekolah. Bisakah kau menjemputku? Aku hampir membeku di sini. Kau mengerti, Im Jae Hyuk?!!” ocehnya setengah berteriak.
               “Kau aneh Yeon Joo-ya. Benar – benar gadis 4D. Bisa – bisanya sikapmu berubah hanya dalam waktu beberapa detik. Baiklah aku ke sana. Tetaplah di tempatmu. Mengerti??”
               “Ya, aku…”, tut… tut… tut… “mengerti.”
               Sambungan diputus secara sepihak oleh Jae Hyuk. Pemuda itu tidak berubah. Selalu saja bertindak seenaknya. Im Jae Hyuk tetaplah Im Jae Hyuk. Tak peduli berapa lama ia menetap di Kanada ataupun negara lain, sifat buruknya itu akan tetap melekat pada diri Jae Hyuk. Ya, setidaknya itulah pendapat dari Yeon Joo.
               Yeon Joo menggosok – gosokkan kedua telapak tangannya berusaha mencari kehangatan, namun sepertinya sia – sia. Hawa dingin semakin menyergapnya. Salju turun semakin lebat, menciptakan gundukan kecil di ranting pohon. Gundukan – gundukan tersebut semakin lama semakin membesar hingga ranting pohon tak mampu lagi menopangnya. Satu persatu gundukan salju itu mulai berjatuhan. Yeon Joo merasakan sesuatu mendarat di kepalanya. Gadis itu tersentak dan refleks menjatuhkan ponsel dalam genggaman tangannya.
               Ya! Siapa yang barusan melempariku?!” omelnya sambil menengokkan kepalanya ke samping kanan kemudian ke kiri.
“Aku sedang tidak ingin bermain.” Ia kemudian berjongkok hendak memungut ponselnya.
               Gundukan salju kembali jatuh dan mendarat di punggung Yeon Joo. Gadis berambut pendek itu mendengus. “Sudah ku bilang aku sedang tidak ingin bermain. Jadi, tolong berhenti!” teriaknya mulai tersulut emosi.
               Yeon Joo duduk bersandar pada pohon. Ia memeluk kedua kakinya. Gundukan salju lagi – lagi jatuh. Kini tidak mengenainya, gundukan itu jatuh tepat di samping sepatunya. “Astaga… kenapa masih saja melempariku…” Yeon Joo menghentikan omelannya kemudian mendongak.
               Gadis tomboy itu, terkekeh, “Ternyata dari ranting pohon.” Ujarnya kemudian.
               Yeon Joo melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi Jae Hyuk belum juga datang. Dan sekarang ia mulai merasa bosan sekaligus agak pening.
“Ku mohon jangan sekarang.” Lirihnya.
            Cairan pekat warna merah mulai mengalir perlahan dari kedua rongga hidungnya. Kepalanya berdenyut hebat. Yeon Joo mengerang. Pandangannya perlahan mulai kabur dan tubuhnya mulai melemas hingga akhirnya kehilangan kesadaran.


~Continue~